“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Demikian ungkapan
Soekarno dalam pidato kepresidenannya pada HUT Kemerdekaan Republik Indonesia
tahun 1966. Ungkapan yang kemudian dikenal dengan akronim “Jas Merah” tersebut mengingatkan
kepada kita untuk senantiasa membaca sejarah, mengkaji dan menelaahnya untuk
kemudian mengambil pelajaran darinya. Sebab peristiwa kemanusiaan adalah
peristiwa sejarah yang berulang dengan pelaku yang berbeda dan kemungkinan
akhir yang berbeda pula. Peristiwa masa lalu adalah sejarah hari ini, dan
peristiwa hari ini akan menjadi sejarah di masa depan. Tak ayal untuk
menyelesaikan konflik kekinian kita selalu membandingkannya dengan sejarah di
masa lalu.
Namun seringkali dalam mengambil hikmah dari sebuah sejarah, cara bertutur sejarah tersebut memengaruhi opini kita. Ketika sudut pandang sejarah itu berubah tentunya turut merubah interpretasi kita atau setidaknya mempengaruhi penilaian akhir kita terhadap sejarah yang sama. Di samping itu, membandingkan kenyataan hari ini hanya dengan satu peristiwa sejarah saja seakan “memaksa” kita membuat kesimpulan bahwa akhir kisah harus sebagaima yang telah tercatat dalam sejarah. Maka ada baiknya juga kita membandingkan sejarah tersebut dengan sejarah yang kondisinya berbeda hingga menambah dan memperkaya pembelajaran yang dapat kita petik darinya.
***
Tiba-tiba saja sejarah pemecatan Khalid Bin Walid oleh
Amirul Mukminin Umar Bin Khattab menjadi kisah yang populer dan banyak dituturkan
pasca mencuatnya berita pemecatan Fahri Hamzah oleh PKS. Sejarah memang mencatat bahwa Khalid
mengalami dua kali pemecatan oleh Umar.
Pertama, pada tahun ke 13 H ketika Umar baru dilantik sebagai khalifah. Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa setelah Umar Al-Faruq diangkat sebagai khalifah, dia menulis surat kepada Khalid bin Walid. Dalam surat tersebut Umar bin Al-Khattab melarang Khalid bin Walid memberikan kambing atau onta kecuali atas seizinnya. Khalid bin Walid kemudian menulis surat kepada Umar Al-Faruq yang berisi, “Jika engkau menginginkan saya tetap menjabat, maka biarkan saya dalam keadaan seperti ini. Jika tidak, maka terserah engkau melakukan sesuatu sesuai dengan kebijaksanaanmu.”. Umar Bin Khattab pun kemudian memecat Khalid karena suatu kebijakan yang diterapkannya. Dan Khalid pun menerima pemecatannya dengan hati yang lapang. Dia tetap bersedia berperang di bawah komando Abu Ubaidah, penggantinya.
Dan peristiwa kedua terjadi pada tahun 17 H saat Khalid berada di Qisrin. Amirul Mukminin mengetahui bahwa Khalid bin Walid dan Iyadh bin Ghanam melakukan penyerangan terhadap Romawi sampai masuk jauh ke dalam wilayah mereka. Pasukan keduanya membawa harta rampasan perang yang banyak. Setelah itu orang-orang dari berbagai wilayah Syam datang untuk meminta harta rampasan kepada Khalid bin Walid, di antaranya Asy’ats bin Qais Al-Kindi. Khalid bin Walid memberikan kepadanya 10.000 dirham, dan hal ini diketahui oleh Amirul Mukminin. Dia meminta Abu Ubaidah agar memeriksa Khalid bin Walid tentang sumber harta yang ia berikan kepada Asy’ats. Umar kemudian memberhentikan Khalid bin Walid dari jabatan militer untuk selamanya.
Khalid bin Walid diminta datang ke Madinah untuk melakukan pemeriksaan. Ia diperiksa dihadapan Abu Ubaidah. Abu Ubaidah menyerahkan urusan pemeriksaan terhadap kurir Khalifah. Sementara kurir khalifah menyerahkan urusan pemeriksaan kepada mantan budak Abu Bakar. Selesai pemeriksaan terbukti bahwa Khalid bin Walid tidak melakukan suatu kesalahan. Pemberian uang sebanyak 10.000 dirham dari harta rampasan perang terhadap Asy’ats yang dilakukannya sudah sesuai dengan prosedur. Seusai pemecatannya, Khalid bin Walid berpamitan kepada penduduk Syam. Dan yang cukup berat baginya adalah perpisahan antara komandan perang dengan pasukannya. Di Hadapan orang-orang dia berkata:
Sesungguhnya Amirul Mukminin telah menugaskanku menjadi komandan
perang di Syam dan memecatku ketika datang musim panen gandum dan madu.
Kemudian ada seorang lelaki yang bangkit dan berkata kepadanya, “Sabarlah wahai komandan. Sesungguhnya jabatan adalah cobaan.” Khalid bin Walid menjawab, “Selagi Umar bin Al-Khattab masih hidup, saya tidak akan memangku jabatan lagi.
Betapa sikap Khalid bin Walid ini merupakan buah dari keimanan yang kuat. Kekuatan spiritual apa yang mengendalikan diri Khalid bin Walid pada situasi yang demikian kompleks? Dari mana datangnya petunjuk kepada Khalid bin Walid sehingga dia dapat memberikan jawaban yang tenang dan penuh hikmah. Orang-orang pun tenang setelah mendengar jawaban Khalid bin Walid yang berisi tentang dukungannya kepada kebijaksanaan Amirul Mukminin Umar bin Al Khattab. Dengan demikian, mereka mengetahui bahwa komandan mereka yang dipecat bukanlah termasuk dari orang-orang yang mengharap singgasana kebesarannya di atas kekacauan dan revolusi. Dia termasuk orang yang berpikiran untuk menjaga persatuan umat.
Khalid kemudian
berangkat ke Madinah menemui Amirul Mukminin. Amirul Mukminin berkata, “Wahai
Khalid, sesungguhnya engkau di sisiku sangatlah mulia dan engkau adalah
kekasihku.” Umar juga menulis surat yang dikirimkan ke berbagai wilayah sebagai
berikut :
Sesungguhnya aku memecat Khalid bin Walid bukan karena aku benci
kepadanya atau dia berkhianat. Akan tetapi orang-orang terlalu menghormatinya.
Saya khawatir mereka akan menggantungkan kemenangan dalam medan pertempuran
terhadap dirinya. Saya juga berharap mereka mengetahui bahwa Allah lah yang
memberikan kemenangan. Saya juga berharap supaya mereka tidak tergoda dengan
kehidupan dunia.
Maka lihatlah sikap
yang ditunjukkan keduanya. Sejarah mencatat keduanya memilih untuk “berdamai”
dan menjaga keutuhan jama’ah yang saat itu sedang memasuki masa ekspansi memperluas
wilayah kekuasaan. Mereka lebih berfokus pada musuh-musuh di luar dari pada
memperkeruh masalah yang mungkin saja sifatnya pribadi. Khalifah Umar sendiri
secara terbuka menyampaikan kekhawatirannya terhadap jama'ah bukan terhadap
pribadi Khalid. Sedangkan Khalid, sekalipun melontarkan kekecewaannya ia tetap
memilih mematuhi perintah sang Khalifah. Tercatat kemudian Khalid menyibukkan
diri dengan ibadah-ibadah lain yang sebelumnya terlupakan beliau karena
disibukkan oleh peperangan. Bagaimana dengan jama’ah? Ketenangan yang
ditunjukkan oleh kedua tokoh tersebut mampu menenangkan umat hingga tetap
berkhidmat kepada kepemimpinan Umar. Tidak terdengar hiruk-pikuk suara
perpecahan di tengah umat.
Namun sejarah juga mencatatkan
perselisihan lainnya antara pemimpin umat namun dengan akhir yang berbeda.
Wafatnya Khalifah Utsman Bin ‘Affan telah membuka pintu fitnah, sementara
pengangkatan Khalifah Ali belum minciptakan suasana yang aman. Meskipun Khalifah Ali dipilih kaum muslimin namun ada
pihak lain yang kurang setuju atas pengangkatanya yaitu Muawiyyah bin Abu Sufyan. Muawiyah
beralasan atas pengangkatan Ali karena Khalifah Utsman dibunuh secara dholim
dan belum di qisos pembunuhnya. Muawiyah mengajukan permintaan pada Ali agar menyerahkan
para pembunuh Utsman sebagai syarat bagi setiap tawaran kesepakatan. Kemudian
Muawiyah tidak mau mengikuti pengangkatan, dan Muawiyah tidak mau diajak
berdamai oleh Ali. Perlawanan ini menyebabkan pecahnya
perang Siffin pada 37 H/ 657 M. Semula peperangan ini dimenangkan pihak Ali
dibawah pimpinan Malik al-Astar, namun Amr bin Al ’Ash mengusulkan pasukan Muawiyah
agar melakukan tipu muslihat dengan mengangkat Al-Qur’an di atas ujung tombak,
dan mengajak kelompok Ali kembali pada Al-Qur’an. Mayoritas kelompok Ali tertipu dengan muslihat tersebut,
meskipun Ali sudah menasehati supaya bersabar dan melajutkan peperangan serta
tidak terkecoh oleh rekayasa politik kelompok Muawiyah.
Dalam hal ini, al-Hafizh Ibn Hajar Al-‘Asqalani (793-852 H/1391-1448 M) berkata: “Hampir saja pasukan Syam menderita kekalahan. Akan tetapi kemudian mereka mengangkat Mushhaf al-Qur’an di ujung tombak sambil berseru kepada kelompok Ali: “Kami mengajak kalian kembali pada kitab Allah.” Akhirnya pasukan Ali meninggalkan peperangan. Lalu diantara mereka saling mengirimkan delegasi juru damai dan siapa yang menurut mereka benar maka harus di ikuti. Ali menerima proses arbitrase dan menerima Abu Musa al-Asy’ari (21 SH-44 H/602-665 M) sebagai perwakilannya. Itulah awal genjatan senjata antara kedua belah pihak.
Pada saat itu juga dari pasukan Ali muncul kelompok aksi menolak terhadap genjatan senjata dan menganggapnya melanggar hukum Al-Quran. Kelompok ini jumlahnya sangat signifikan dan keluar dari kelompok Ali, dikemudian hari disebut kaum Khawarij. Mereka berpendapat Ali dan mereka yang menerima genjatan senjata telah melanggar perintah Allah. Kaum khawrij selalu berusaha merebut massa Islam dari pengikut Ali, Muawiyah dan Amr sebab mereka yakin bahwa ketiga pemimpin ini merupakan sumber pergolakan-pergolakan, sehingga mereka bertekad untuk membunuhnya. Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H (660 M) salah seorang Khawarij berhasil membunuh ‘Ali di Masjid Kufah.
Peristiwa
pemecatan Fahri Hamzah oleh PKS memang belum menjadi sejarah. Peristiwa
tersebut saat ini memang masih sebatas dinamika dan warna-warni politik saja. Bagaimana
akhir dari dinamika ini bergantung pada pilihan-pilihan sikap pelakunya. Tentu saja
kita tidak menginginkan akhir dari peristiwa ini adalah perpepacahan di tubuh
PKS. Bagaimana pengaruh peristiwa ini dan implikasinya terhadap jama’ah kader
PKS? Maka hanya kekuatan jama’ahlah yang dapat menjawabnya. Tentu ini
berpotensi memunculkan perpecahan, namun saya berharap tidak ada yang menjadi
khawarij ataupun syi’ah yang melakukan pengkultusan terhadap pribadi dalam
masalah ini. Peristiwa ini hanya sebagai ujian kesolidan para kader. Dan kita
akan merindukan pribadi yang berkata kepada Khalid “Sabarlah wahai
komandan. Sesungguhnya jabatan adalah cobaan.”